Friday, January 27, 2012

Ketika Air Kehidupan Mengalir

Seorang pria mendatangi Sang Guru, “Guru, saya sudah bosan hidup. Sudah jenuh betul. Rumah tangga saya berantakan. Usaha
saya kacau. Apa pun yang saya lakukan selalu berantakan. Saya ingin mati saja.
“Sang Guru tersenyum, “Oh, kamu sakit.” “Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati.”
Seolah-olah  tidak  mendengar  pembelaannya,  Sang Guru meneruskan, “Kamu sakit. Dan penyakitmu itu dinamakan Alergi Hidup.”
Banyak  sekali  di  antara  kita  yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa  disadari  kita  melakukan hal-hal yang  bertentangan dengan norma kehidupan.  Sungai  kehidupan  ini mengalir terus, tetapi kita menginginkan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit.

Resistensi kita, penolakan kita untuk  ikut mengalir bersama kehidupan
membuat kita sakit. Yang namanya usaha, pasti ada pasang-surutnya.   Dalam hal   berumah  tangga, bentrokan-bentrokan   kecil  itu  lumrah. Persahabatan pun  tidak  selalu  langgeng.
Apa  sih  yang  langgeng, yang abadi dalam hidup ini?
Kita tidak  menyadari   sifat  kehidupan.  Kita  ingin mempertahankan  suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa, dan menderita.
“Penyakitmu  itu  bisa  disembuhkan,  asal  kamu ingin sembuh dan bersedia mengikuti  petunjukku,”  kata  Sang Guru.
“Tidak  Guru, tidak! Saya sudah betul-betul  bosan.  Saya tidak ingin hidup,” pria itu menolak tawaran sang guru.
“Jadi  kamu  tidak  ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?” “Ya, memang saya  sudah bosan hidup.” “Baiklah, kalau
begitu maumu. Ambillah botol obat ini.  Setengah  botol  diminum malam ini, setengah botol lagi besok petang. Besok malam kau akan mati dengan tenang.”
Giliran  pria  itu  jadi  bingung.  Setiap  guru yang ia datangi selama ini selalu berupaya untuk memberikannya semangat
hidup. Yang satu ini aneh. Ia malah  menawarkan racun. Tetapi karena ia memang sudah betul-betul jemu, ia menerimanya  dengan  senang hati.
Sesampai di rumah, ia langsung menenggak setengah  botol”obat” dari Sang Guru. Dan… ia merasakan ketenangan yang tidak  pernah ia rasakan sebelumnya.. . Begitu santai! Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia  akan mati.  Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah. Malam  itu,ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran Jepang. Sesuatu  yang sudah tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir.
Pikir-pikir  malam  terakhir,ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan,  ia  bersenda  gurau.  Suasananya santai
banget! Sebelum tidur, ia mencium  istrinya  dan  berbisik, “Sayang, aku mencintaimu. “
Esoknya bangun tidur,  ia  membuka  jendela  kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan  tubuhnya dan ia tergerak untuk melakukan jalan pagi. Pulang ke rumah  setengah  jam kemudian, ia  melihat istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk  dapur  dan membuat 2 cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya.
Karena pagi itu adalah pagi terakhir, ia ingin meninggalkan  kenangan manis! Sang  istri  pun merasa aneh sekali.
Selama ini, mungkin aku salah, “Maafkan aku, sayang.”
Di  kantor,  ia  menyapa setiap orang. Stafnya pun bingung, “Hari ini, Boss kita kok  aneh  ya?” Dan sikap mereka pun
langsung berubah. Mereka menjadi lembut.  Karena  siang  itu  adalah  siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah  dan  lebih  toleran, bahkan apresiatif terhadap perbedaan pendapat.
Tiba-tiba  hidup menjadi indah.  Ia mulai  menikmatinya. Pulang ke rumah petang  itu, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda. Kali ini justru sang istri  yang memberikan ciuman kepadanya, “Sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu.” Anak-anak pun tidak  ingin ketinggalan,  ”Pa, maafkan kami semua. Selama ini Papa selalu stress karena perilaku kami.”
Tiba-tiba,  sungai  kehidupannya  mengalir kembali.Seketika hidup menjadi sangat  indah.  Ia  mengurungkan niatnya untuk
bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan  setengah  botol  yang sudah ia minum? Ia mendatangi Sang Guru lagi. Melihat  wajah  pria
itu, Sang  Guru langsung  mengetahui apa yang telah terjadi, “Buang saja  botol itu. Isinya air biasa kok. Kau sudah sembuh!
Jika kau hidup dalam kekinian, jika kau hidup dengan kesadaran bahwa engkau bisa mati kapan  saja, maka  kau  akan menikmati setiap detik kehidupan. Hilangkan   egomu, keangkuhanmu.   Jadilah lembut,selembut  air, dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup.  Itulah  rahasia  kehidupan.  Itulah jalan menuju ketenangan. Itulah kunci kebahagiaan. “
Pria itu mengucapkan terima kasih, lalu pulang untuk mengulangi pengalaman sehari terakhirnya. Ia terus mengalir. Kini ia selalu hidup dengan kesadaran bahwa ia bisa mati kapan saja.´Itulah sebabnya, ia selalu tenang, selalu bahagia!
Tunggu.  Kita  semua  SUDAH  TAHU bahwa  kita
BISA MATI KAPAN SAJA.
Tapi masalahnya: apakah kita SELALU SADAR bahwa
kita BISA MATI KAPAN SAJA?

No comments:

Post a Comment